Selasa, 10 April 2012

PERGERAKAN MAHASISWA

MENURUT Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mahasiswa ialah pelajar perguruan tinggi. Di dalam struktur pendidikan Indonesia, mahasiswa menduduki jenjang satuan pendidikan tertinggi di antara yang lain.

Mahasiswa itu berbeda dengan siswa. Mahasiswa memiliki tanggung jawab yang lebih besar sebab berjuang bukan hanya untuk diri sendiri tetapi juga untuk orang lain. Hal ini didasari oleh suatu patokan dalam perguruan tinggi yang disebut sebagai “Tridharma Perguruan Tinggi” yang terdiri atas pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Poin ketiga itulah yang menjadi pembeda antara mahasiswa dengan siswa. Ada banyak bentuk dari pengabdian masyarakat yang dapat dilakukan oleh mahasiswa, salah satunya ialah pergerakan mahasiswa.
Ada empat fungsi mahasiswa yakni agent of change, direct of change, iron stock, dan moral force. Itulah mengapa mahasiswa sesungguhnya memiliki tanggung jawab yang besar terhadap perubahan negeri ini selain tanggung jawab mereka terhadap akademik mereka.
Pergerakan mahasiswa dibagi atas dua gerakan yakni gerakan horizontal dan gerakan vertikal. Yang dimaksud gerakan horizontal ialah gerakan basis ke masyarakat. Gerakan ini dapat berupa pengembangan masyarakat (community development), bakti sosial, dan sebagainya. Sedangkan, yang dimaksud gerakan vertikal ialah bergerak langsung ke pemerintah, contohnya ialah aksi turun ke jalan.namun sayang pergerakan yang kita inginkan semakin hari semakin memudar ada beberapa alasan mengapa sampai  pergerakan mahasiswa kian hari kian menurun???

Kalau para politisi doyan berhutang sana-sini demi duduk di kursi DPR, dan selepas mendapatkan kedudukan tersebut, mereka berbondong-bondong cari lahan untuk setoran serta pemuasan pribadi. Fenomena ini juga tak ubahnya dengan dunia perkuliahan, dunia mahasiswa. Ibarat wabah yang menjangkiti kampus-kampus di Indonesia yang pernah dikenal sebagai kampus pergerakan mahasiswa.

Lihat saja bagaimana sekarang biaya perkuliahan begitu mahal, bagi mahasiswa yang kurang mampu maka lebih baik cepat lulus kuliah, untuk apa pusing memikirkan urusan pergerakan-pergerakan mahasiswa yang justru jadi martir para elit politik juga. Sedangkan bagi orang yang mampu atau kaya raya, berpikiran lebih baik melakukan hal-hal lain yang dapat menyenangkan hidup, berfoya-foya, malah sekalian saja kuliah di luar negeri daripada di Indonesia. Sama-sama mahalnya dan sama-sama bisa dibayar. Namun berangkat dari dua fenomena tersebut, telah terjadi perubahan orientasi dari kampus yang terpaksa atau memaksakan diri untuk ikut arus industri di dunia pendidikan. Dengan biaya perkuliahan yang mahal, maka mahasiswa diarahkan hanya untuk memikirkan soal biaya kuliah sebagai pusat, sementara persoalan lainnya hanya pinggiran.

Maka implikasinya ada mahasiswa yang harus sampai jual tanah di kampung agar bisa kuliah, namun ketika lulus justru dihadapkan pada persoalan bagaimana bisa balik modal. Tujuan yang harus dicapai adalah mencari pekerjaan dengan gaji tinggi setinggi-tingginya, atau membikin bisnis sebanyak-banyaknya. Ada pula mahasiswa yang tidak memikirkan soal biaya kuliah, Kampus sebagai institusi wadah pergerakan tiba-tiba berubah jadi arena tawuran, jadi mesin pencetak generasi alay, atau sebaliknya menghasilkan kelompok profesional muda yang siap menjilat para pemodal. Mahasiswa yang digadang-gadang sebagai kelas menengah justru terjerembab sama apatisnya terhadap politik sebagaimana masyarakat awam. Dalam satu dekade setelah reformasi bergulir, siapakah tokoh pergerakan mahasiswa saat ini? Namun kalau ditanya berapa mahasiswa yang telah dilantik sebagai calon pengangguran dalam tiap gelaran acara wisuda? Jumlahnya ribuan. Dan karena orientasi kebutuhan hidup yang harus ditunjang oleh urusan finansial ini, wajar apabila cara pikir mahasiswa sekarang kebanyakan sama saja seperti politisi-politisi partai. Mungkin partai politik itu versi upgrade-nya wajah kampus-kampus belakangan.

Sekarang kalau kita coba pakai logikanya Mario Teguh yang berpendapat agar orang tua jangan terbiasa mengajarkan anaknya sedari kecil saat menangis, dengan cara menyalahkan benda-benda di sekitar yang mengakibatkan si anak itu menangis. Karena nantinya ketika besar anak itu terbiasa menyalahkan lingkungan sekitar ketika dia mengalami kegagalan. Perspektif atau logika seperti itu sah-sah saja, namun kalau dilihat dari sisi lain, semisal fenomena mahasiswa yang menjadi calon-calon pengangguran, apakah yang menjadi faktor dominan ketidakmampuan individu? Atau bisa jadi karena dikonstruk oleh hal-hal lain di luar diri manusianya?

Fenomena industrialisasi dunia perkuliahan yang akhirnya membuat mahasiswa selain sebagai konsumen, juga sebagai komoditas, apakah hal semacam ini tidak dikonstruk oleh faktor lain di luar diri si mahasiswa? Bisa jadi yang mengonstruk adalah sistem pendidikan yang korup, korporasi yang ingin meraih keuntungan dari bayaran semesteran, anggota-anggota parlemen atau pejabat eksekutif yang mempreteli anggaran dana pendidikan, dan masih banyak faktor lain yang sering disebut sebagai lingkaran setan.mari kita merefleksikan pendidikan diBangssa ini....karena seorang filosof  yunani Socrates mengatakan bahwa:

“ Hidup yang tak direfleksikan adalah hidup yang tidak pantas untuk dijalani”

(KABID PTKP KIPMA UNDANA '11 - CHOMAR)
Share on :
 
© Copyright AKSI KIPMA 2011 - Some rights reserved | Powered by kupang onLine.
Template Design by Feni NormaLita | Published by Borneo Templates and Theme4all