Selasa, 10 April 2012

CINTA TERBELENGGU TAKDIR

KISAH CERPEN INI HANYA FIKTIF BELAKA LOCH TEMEN2....KLO ADA YANG KISAH HIDUPNYA KAYAK NIE CERITA,,,MAAFIN KRU CIBI YAAAACCHHH!!!!!

MET MAKAN.......(eh salah...)MET MEMBACAAAA.......

Nanda membereskan pakaiannya, dimasukkan satu persatu dalam tas ranselnya. Seakan berat tinggalkan himpunan tercinta, meski hanya 2 minggu saja. Sambil menerawang membayangkan apa yang akan dilakukannya di desa, Ia pun tersenyum. “Banyak yang dapat kulakukan disana”, gumamnya dalam hati. Sejenak Ia tersadar oleh suara ibunda tercinta.

“Udah siap nduk?” Tanya sang ibu dengan penuh senyum. “Udah bu, ni tinggal tunggu jemputan ke terminal”. “Dijemput farhan?” “Iya bu” “Hmmmmmm kalian sudah bersahabat sejak lama, apakah tak saling tertarik?”..  “hahahahahaha ibu ada-ada aja! Kita gak bisa saling tertarik bu, lagian ibu kan tahu aku tak ingin memikirkan persoalan cinta, karier akademis dan organisasi adalah yang utama”. “Iya, tapi dirimu juga harus berpikir wisuda dan menikah, masa anak cewek kuliahnya sampai belasan semester gitu.” “Ibu tenang aja, gak sampai D.O kok”. Ibunya hanya menggeleng.

                                                                                ********

Nanda, seorang gadis manis mahasiswi Fakultas Kesehatan Masyarakat adalah seorang aktivis HMI. Cintanya pada HMI melebihi apapun, hingga hatinya pun tak pernah merasakan cinta yang sesungguhnya. Banyak yang mendekatinya, tapi tak pernah sekalipun dihiraukan olehnya. Seperti apa cinta itu?? Ia pun tak tahu.. Apakah untuk mendapatkan jodoh diperlukan ikhtiar? Ataukah telah terikat takdir yang Maha Kuasa?? Ia pun tak ingin menguraikan. Walau langit menjadi mendung di saat Ia inginkan panas pun, tak menjadi hal yang penting baginya. Yang terpenting adalah HMI, HMI, dan HMI…..

Farhan, sahabatnya yang setia. Pernah mengikuti Latihan Kader 1 tapi tidak begitu aktiv. Akivitasnya di HMI berhenti paska LK. Ia lebih suka bergelut di organisasi intern kampus. Kariernya dalam organisasi intern kampus patut diacungi jempol. Farhan dan Nanda selalu saja berdiskusi tentang organisasi, meskipun terkadang argumen keduanya berbeda. Nanda dengan bangga menyebut diri seorang Kohati, namun Farhan tidak sedikitpun suka mendengarkan sahabatnya menyebut dirinya sebagai seorang Kohati.

********

                “Berapa lama penelitianmu?” Tanya Farhan setelah tiba di terminal. “Sekitar 2 minggu” “Kau yakin akan lulus semester depan?” “Ya, sangat. Kau tahu kan aku tidak pernah sekalipun pesimis?”. Farhan hanya mengangguk-angguk mendengar jawaban sahabatnya. Ia sudah cukup mengenal Nanda. Sikapnya memang selalu optimis, dan idealismenya seperti tidak terkalahkan.

                “Hati-hati di jalan”, Farhan menyerahkan tas ransel Nanda. “Kalau dapat jodoh disana, kabari aku” Farhan berkata seraya menggoda sahabatnya. “Idealismeku tidak akan kalah karena cinta, kurasa kau tahu itu” “Ya, aku sangat tahu. Tapi hatimu tetap saja hati. Suatu saat kau akan jatuh cinta juga. Kecuali jika hatimu telah mati.” “Sudahlah, aku berangkat dulu”…

                Nanda duduk di salah satu kursi dekat jendela. Setelah melambaikan tangan pada Farhan, ia pun bersandar di kursi. Bis terus menyusuri jalanan, melewati banyak pohon dan rerumputan hijau. Pemandangan sangat indah, sekilas terngiang kembali kata-kata Farhan di terminal. Pikirannya cukup kacau. Ia seperti baru menyadari bahwa hatinya telah mati. Selama menjadi seorang aktivis, Ia tak percaya akan cinta. Kini hatinya pun ragu, apakah Ia bisa jatuh cinta?? Ya, Ia bisa jatuh cinta, yaitu dengan idealismenya sendiri…

                                                                                                ********

                Akhirnya tiba juga di desa Suka Makmur. Desa ini sangat indah, namun masih sangat tertinggal. Nanda akan meneliti tentang kesehatan masyarakat di desa terpencil ini. Ia pun tinggal di rumah kepala desa. Sangat sederhana rumah itu, namun sangat nyaman. Terlebih lagi kepala desa memiliki anak gadis yang umurnya tak terlalu jauh dari umur Nanda.

                “Kak Nanda, gimana desa ini?” Sambil tersenyum, Nanda pun menjawab, “Indah, nyaman, asri.. Hmmm pokoknya sangat menyenangkan”. “ Ya sudah, kak Nanda istirahat saja dulu. Besok baru jalan-jalan keliling desa”

                                                                                                ********

                Pagi yang sangat cerah, Nanda pun berkeliling desa. Pemandangannya sungguh menakjubkan. Nanda melihat anak-anak berlari kegirangan, keningnya berkerut. Ia lalu bertanya pada Niar, anak kepala desa. “Mereka berlari kemana?” “Ke sekolah kak, maklum tak ada kendaraan. Mereka harus berlari agar cepat sampai.” “Jauh sekolahnya?” “Lumayan kak, gurunya ganteng lho”. Nanda mengerutkan kening seakan sangat penasaran. “Kakak ingin kenal?” “Tidak, tidak sedikitpun”.

                Sudah berjam-jam Nanda mengelilingi desa, Ia lelah dan pulang ke rumah. Sudah cukup suasana yang diihatnya. Diambilnya laptop, dan Ia mulai mengetik sebagian yang diamatinya dan hasil perbincangan dengan beberapa orang warga.

                Adzan maghrib berkumandang, Nanda bergegas shalat berjamaah di masjid. Selesai shalat, Ia masih duduk membaca buku-buku penelitiannya. Di balik tirai, terdengar suara yang sangat merdu. Alunan ayat suci Al-qur’an sangat syahdu. Membuat hati Nanda bertanya, siapakah yang sedang membaca ayat suci tersebut? Nanda keluar dan duduk di teras masjid. Ia melihat anak-anak berjalan masuk ke dalam masjid. Di tengoknya ke dalam, ketika itu juga terhenti alunan ayat suci Al-qur’an tersebut. Seseorang membuka tirai. Sesosok pria tampan sedang berdiri di depan papan. Anak-anak duduk mengambil posisi di depan pria tersebut. Ternyata pria itu mengajar anak-anak membaca Al-qur’an…..

                “Subhanallah…..Siapakah dirinya? Mungkinkah dia pemilik suara merdu tadi? Ya Allah…. Apa yang kurasakan saat ini?”.. Entah kagum, entah takjub, entah bingung, entah terpana, entahlah… Nanda tidak pernah merasa seperti ini. Ia sungguh heran pada hatinya sendiri…

                Sesampainya di rumah pun, Ia hanya termenung menatap langit-langit rumah. Ia merasakan hal yang berbeda di hatinya. Rasa ingin bertemu pun hinggap di hati. Nanda mulai berpikir, “Perasaan apa ini?”.. Niar terbangun dan menyapa Nanda, “Kak Nanda belum tidur?” “Belum” “Sepertinya memikirkan sesuatu” “Tidak, hanya belum ngantuk saja”.

                                                                                                ********

                Seminggu telah berlalu. Data-data telah dikumpulkannya, namun penelitian Nanda belum selesai juga. Ia masih sibuk bekerja dengan laptop di rumah. Matanya melirik ke arah kalender, tinggal seminggu lagi dia disini. Penelitian pasti dapat Ia selesaikan tepat waktu, tapi ada hal yang mengganjal di hatinya. Sepertinya ada yang harus diketahuinya, yang pasti bukan soal penelitian skripsinya. “Siapakah dia?” kata-kata itu kembali bernaung di hatinya. Seminggu Ia merasakan hal berbeda, entah apa namanya……

                “Nak Nanda..” Suara kepala desa membangunkannya dari lamunan. “Iya Pak” jawab Nanda. “Masih kerja?” “Tinggal sedikit saja pak, ada apa?” “Ustadz Fahri ingin berdiskusi denganmu. Bapak cerita ada seorang mahasiswi yang meneliti di desa ini dan Ia ingin bicara padamu”. “Siapa dia pak?” “Dia ngajar di sekolah anak-anak di desa ini. Lulusan pesantren al Zaytun”..

                “Assalamualaikum”.. Terdengar suara dari arah pintu. Nanda pun menoleh dan seketika terperanjat. Apakah mimpi yang dilihatnya? Pria itu berdiri di hadapannya. “Nak nanda, ini ustadz Fahri yang bapak ceritakan tadi”. Nanda hanya tersenyum sambil mengangguk. Ternyata guru ganteng yang diceritakan Niar adalah guru ngaji di masjid yang telah seminggu mengganggu hatinya. Berbagai bahan bicara diperbincangkan, dari soal agama, pendidikan, organisasi, bahkan idealisme…

                                                                                                *********

                Sisa 2 hari waktu Nanda disini. Hatinya cukup pilu melihat kalender. Sangat berat jika harus tinggalkan desa itu, dan juga ustadz Fahri. Dia teman diskusi yang nyambung bagi Nanda. Apapun dapat diperbincangkan tanpa adanya beda argumentasi. Nanda melihat bintang-bintang di angkasa, dan berkata dalam hatinya. “Aku telah kalah. Aku kalah melawan hatiku. Aku yakin ini adalah cinta. Idealismeku terkalahkan oleh cinta”. Nanda masih tak mengerti dengan parasaannya. Apakah prinsip hidup seseorang dapat berubah? Apakah ada campur tangan Tuhan di dalamnya? Apakah Nanda bisa berihktiar musnahkan rasa cintanya?...

                “Assalamualaikum Nanda” “Waalaikumsalam ustadz, dari mana?” “Dari masjid, kebetulan lewat disini dan melihatmu duduk sendiri. Sedang memikirkan apa?” “Tidak, hanya menunggu waktu pulangku” “Nanda jadi pulang 2 hari lagi?”.. Nanda hanya mengangguk. “Tak ada niat menetap disini?”.. Nanda terkejut mendengar pertanyaan ustadz Fahri. “Hmmmm desa ini sangat indah, tapi aku harus pulang. Aku harus selesaikan skripsiku dan lulus, juga HMI yang sedang menantiku” “Seperti apa cintamu pada HMI?” “Seperti laut yang tak pernah kering.” “Seperti apa yang kau temukan pada HMI?” “Seperti jarum yang kau temukan dalam jerami” “Sejauh apa anganmu di HMI?” “Sejauh matamu memandang bintang di atas sana”.. Nanda menunjuk bintang di langit. Ustadz fahri menggelengkan kepalanya. “Subhanallah.. Kau benar-benar mencintai HMI.” Nanda hanya tertawa pelan mendengarnya. “Aku bertanya lagi. Adakah seseorang yang dapat kau cintai lebih dari HMI-mu?” “Inginku tak ada, tapi sepertinya akan ada, jika mendapat Ridho-Nya” “Apakah diriku?” Pertanyaan ustadz Fahri mengejutkan Nanda. “Maksudmu?” “Ya, apakah aku yang akan kau cintai melebihi HMI-mu?” “Aku telah beikhtiar untuk menemukannya, dan sekarang tepat di sampingku” Nanda menoleh pada ustadz Fahri. “Pertanyaan terakhirku, apa kau akan kembali ke desa ini?” “Jawaban terakhirku, Ya, aku akan kembali. Untukmu”…..

                                                                                                ********

Akhirnya Nanda lulus ujian skripsi dan wisuda. Laporan pertanggungjawaban sebagai Pengurus Cabang pun telah ditunaikan. Ada 1 pertanyaan orang tua dan sahabatnya, yaitu soal jodoh. Dulu menjadi pertanyaan yang paling buruk yang pernah didengar, namun saat ini terdengar menyenangkan. Nanda akan kembali ke desa, bertemu sang pujaan hatinya.

“Aku akan mengantarmu” Farhan bertanya penuh harap. “Untuk apa kau ikut?” “Aku ingin bertemu seseorang yang sangat istimewa di hati sahabatku. Ia sungguh hebat, sebab mampu hancurkan prinsip seorang Putri Minanda” “Muhammad Farhan, kau sungguh berlebihan” “Aku rasa tidak. Bukan hanya aku yang berpikiran demikian, tapi abang, yunda, dan adindamu pasti berpikir hal yang sama” “Mungkin aku kalah, tapi hatiku menang sebab dapat mencintai seseorang” “Aku suka jawabanmu, apa aku boleh ikut?”.. Nanda menyerah dan mengangguk mengiyakan.

Akhirnya sampai di desa Suka Makmur lagi. Niar menyambut senang kedatangan Nanda. Nanda heran dengan penampilan Niar, sepertinya Ia baru pulang dari sebuah acara. “Kau dari mana?” tanya Nanda pada Niar. “Dari rumah ustadz Fahri” belum selesai Niar menjawab, terdengar suara ibunya dari dapur. Niar pun bergegas masuk ke dapur.

Nanda ingin tahu ada acara apa di rumah ustadz Fahri. Ia pun mengajak farhan untuk pergi kesana. Dari kejauhan, hati Nanda berdegup kencang. Semakin lama semakin dekat kediaman ustadz Fahri. Nanda  terperanjat, dan matanya pun berkaca-kaca. Ustadz Fahri bersanding dengan seorang wanita. Sejenak hatinya merasakan perih yang belum  pernah dirasakan sebelumnya. Ia ingin menjerit, namun bagai tertahan dalam kebekuan lidahnya. Ia ingin menangis, namun bagai tertahan dalam mata sayupnya.

Ustadz Fahri melihat keberadaan Nanda, matanya seperti berlinang air mata. Entah apa yang ustadz fahri rasakan, sakit ataukah bahagia??... Nanda melangkah mundur dan berlari sekencang-kencangnya. Farhan mengejarnya. Nanda tak hiraukan apapun lagi, Ia menuju rumah Niar, mengambil tas dan berpamitan pulang ke kota saat itu juga.

Hidupnya bagaikan hancur seketika. Cinta yang bersemayam di hatinya pupus. Mimpi yang susah payah dibangunnya telah sirna. Ia hanya bisa membisu. Farhan selalu di sampingnya, bagai tak percaya sang sahabat akan tersakiti. Nanda seperti telah hilang dari hidupnya.

“Aku telah berikhtiar, aku yakin itu. Menurutmu, apa salahku? Hingga Tuhan berikan jalan ini padaku?” Nanda bertanya pada Farhan  “Kau tak salah” “Apakah ini takdir? Dalam sekejap hatiku terombang-ambing. Sungguh, aku tak sanggup” “Kau wanita yang tegar, aku tahu itu” “Untuk saat ini aku tak bisa” “Kau pasti bisa Nanda” “Aku mencintainya, tapi takdir telah membelenggu cintaku. Sangat pantas jika aku katakan takdirku kejam” “Kembalilah Nanda yang aku kenal, kembalilah” “Tak bisa untuk saat ini teman”.. Nanda pejamkan matanya sesaat, lalu dibukanya lagi dan berkata “Seperti apa hatiku saat ini? Seperti karang yang terpecah oleh ombak”………………………………………………………….

           

Oleh:

HEPPY OKTAVIA

(Wasekum PPPA HMI Komisariat Kipma Undana)

Di terbitkan pada buletin KIPMA 2011
Share on :
 
© Copyright AKSI KIPMA 2011 - Some rights reserved | Powered by kupang onLine.
Template Design by Feni NormaLita | Published by Borneo Templates and Theme4all